demi sebuah pagi


Demi Sebuah Pagi
ARMY
Mentari masih tegak perkasa dalam kuasanya siang itu. Debu dan asap menjadi tamu istimewa dalam pesta dan jamuannya. Ketika sorak sorak dalam sebuah toa tua bergemuruh di jalan jalan, di kantor pemerintahan, kampus kampus dan lain yang tak terujar kata. Perlahan dengan lamat terdengar suara kian memekikkan. Luruh peluh keringat seakan membanjir tubuh. Dengan perlahan usapan jemari mulai menggeliat diwajah tuk hapus guyuran peluh. Namun langkah langkah tak kunjung berkurang, justru kian padat, sesak dan panas.
Panas itu tidak hanya berasal dari terik mentari yang mencapai empat puluh derajat celscius. Nuansa panas juga berasal dari teriakan, lolongan sumpah serapah yang mengalir alami dari beratus bahkan beribu lautan manusia. Supremasi tertinggi bagi bangsa ini katanya. Aku yang ikut menjadi bagian dalam lautan manusia itu terpompa semangat, merinding, namun merasakan getaran, tekanan dari sang illustrator di depan. Bagaikan sebuah nuansa ketika menjalankan ibadah keagamaan. Emosi tersebut mengalir dengan tali yang berbeda namun semangat yang sama. Aku terbakar.
Kata demi kata penuh lantang terus mengalir. Bahkan alirannya lebih tajam dari sekedar arus sungai, deburan ombak dilautan. Itulah manusia, sesosok yang mampu membawa energy jiwa merengkuh pada derajat tertinggi. Dengan semangat yang ada di dalam dada, bergumul menjadisatu dalam satu semangat kelompok hari itu, BBM untuk rakyat.
Aku semakin larut bahwa jalan benar telah aku pilih menuju sebuah gerbang pembaharuan. Bukan untuk diriku saja, tapi untuk bangsa ini yang kutahu tengah morat marit akibat ego ego penguasa. Perjalanan hari itu kian berlanjut hingga mentari berada di ufuk barat. Namun lantang suara itu kian tajam, kian membahana dan meroket dalam emosi jiwa para anggota dibawahnya.
Suasana sore itu bertambah riuh dengan arus pulang para pekerja. Macet, sorak soraipun beraneka ragam,, menggerutu berteriak , klakson saling saut. Dan debu asap kian mengepul. Susana yang bercampur tesebut menambah kian gerah dalam biorama yang abstrak.
Jalan jalan berusaha ditutup saat orasi mulai menyapa malam oleh para yang mengaku arus bawah. Lantang suara tidak sekeras siang tadi. Namun ketajaman, kritik kepada arus atas lancar membahana di satu sudut  jalan. Jalan itu kuingat sebuah jalan sekitaran kampus. Dekat pintu masuk. Saat nyanyian  penghapus kesepian terdengar, meski tak mengeluarkan sebuah nada indah, namun memiliki makna yang dalam tentang penderitaan bangsa ini.
Aku turut bertahan dalam sorakan, yanyian yang semakin memaksa adrenalinku terus meronta. Mengupat sang penguasa, menghardik sang arus atas. Namun mataku terbelalak duijung tepian jalan itu. Sebuah sepeda motor tua harus berdiri lama ditengah antrian jalan yang tercipta dari penutupan sisi jalan oleh kami, yang mengaku arus bawah. Motor tua itu membawa seorang wanita paruh baya. Kelihatan ia tengah menggigil dengan raut wajah sendu dan swater tebal yang menghiasi tubuhnya.
Aku sontak bergumam, bukankah mereka adalah arus bawah yang sedari siang menjadi tpik pembahasan ini?. Mengapa mereka harus terhenti langkah untuk sebuah langkah yang tengah memperjuangkan hak mereka. Ia tengah sakit namun harus memutar arah mencari alternatif menemukan klinik terdekat. ia harus menunggu lama, jalan lain juga disesaki dengan mereka yang berkepentingan lain dan disebut arus bawah.
Aku kembali terdiam dan bertanya “inikah yang aku perjuangkan?, inikah yang menjadi jalan yang lurus bagiku”. Ketika ditengah perjuangan untuk mereka yang berada di arus bawah, kami harus menggadaikan hak mereka untuk beekspresi.”. benarkah ada jalan yang lurus? Ataukah jalan itu selalu berbelok tak selalu menuju arah yang lurus?. Aku tak tahu. Aku bingung dan hilang arah. Kuputuskan untuk bergerak pulang dari lingkaran. Dan meninggalkan perjuangan malam itu.
Esoknya hari yang baru. Hari dimana kemenangan untuk bangsa ini. Sebuah perjuangan yang digalakkan elemen elemen masyarakat  berhasil menolak kenaikan BBM. Syukur Alhamdulillah untuk itu. Namun hatiku berbicara tentang kecacatan disatu sudut perjuangan kemarin. Kemenangan yang bagiku tidak begitu manis. Ketika banyak yang tergadaikan pula oleh sebuah gerakan yang sebenarnya bergerak diarah yang tepat. Aku menangis dan teringat sebuah kata mutiara dari seorang ustadz.”mulai dari diri sendiri,mulai dari hal yang kecil dan mulai saat ini”. Dan kuputuskan untuk melakukan dari diriku sendiri dengan menjadi pribadi yang jauh lebih baik, kumulai dari hal hal yang kecil dan kuharap dapat merbah dunia dari langkah langkah kecil yang kubuat,dan kumulai saat ini saat orang merasa enggan untuk memulai sebuah langkah yang baru.

dikirim oleh : Rina Wati