HANDOKO : ISLAM DAN NASIONALISME MASA KINI (REFLEKSI PAHLAWAN NASIONAL H.O.S TJOKROAMINOTO)


ISLAM DAN NASIONALISME MASA KINI
(REFLEKSI PAHLAWAN NASIONAL H.O.S TJOKROAMINOTO)

Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, perbincangan tentang hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia sama tuanya dengan usia kemerdekaan itu sendiri. Perbincangan yang sudah dimulai sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka. Sebagian komunitas muslim menilai tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa Islam dan nasionalisme tidak dapat berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan. Dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan nasionalisme, Hasan al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan, apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain, nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban. Cinta tanah air adalah sesuatu perasaan yang dikaruniakan Allah tidak pandang apakah ia bodoh atau pandai, ia dilahirkan untuk cinta terhadap bangsanya. Dan, ini tak dilarang oleh agama. Nabi Muhammad SAW ketika hijrah ke Madinah berkata: ’’Cintaku terhadap Madinah sama dengan cintaku terhadap Makkah’’. karena itu, Nabi pun cinta kepada tanah air.
Seorang tokoh pergerakan Islam di tanah air pada masa pergerakan nasional di Indonesia juga mewarnai adanya kontribusi akan kepedulian terhadap negara. Salah satu tokoh yang dimaksud adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, lahir di Ponorogo pada tanggal 16 Agustus 1883. Dia merupakan anak ke dua dari duabelas bersaudara dan terlahir dalam keluarga priyayi yang religius. Pendidikan dasarnya ditempuh di Madiun, di sekolah Belanda. Kemudian pendidikan lanjutnya ia tempuh di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren “sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi”) di Magelang (1902). Karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok terhadap kolonial Belanda, maka ia hijrah ke Surabaya dan bekerj di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”. Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.
Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober hingga 02 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (Pan Islamisme).
Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI. Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
Sambil merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari kelompok Islam-tradisional yang kemudian mendirikan NU. Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, PSI (Partai Sarekat Islam) masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama. Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik nasionalis-sekuler serta kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI. Dalam posisi ini, Tjokro bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) akhirnya keluar dari PPPKI. Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal dunia pada usia 52 tahun.
 Pada 1925, HOS Cokroaminoto berpendapat, Islam sekurang-kurangnya tidak merintangi munculnya nasionalisme, bahkan di satu pihak mendukungnya. Tetapi nasionalisme yang didukung Islam bukanlah nasionalisme sempit yang berbahaya bagi bangsa lain. Nasionalisme yang menuju sosialisme Islam, yaitu sosialisme yang menghubungkan monohumanisme di bawah petunjuk Allah, melalui peraturan-peraturan-Nya yang diwahyukan kepada Rasulullah. Nasionalisme dapat dibawa dalam 2 konteks yang berbeda, yaitu nasionalisme Islam yang disampaikan HOS Tjokroaminoto tadi dan nasionalisme sekuler contohnya yang dibawa oleh Soekarno. A. Hassan pendiri PERSIS berpandangan cinta bangsa (nasionalisme) tidak terbilang ashabiyyah yang secara tegas tidak diridai Allah kecuali ada unsur-unsur kezaliman. Cinta bangsa dan tanah air yang dibenarkan bagi seorang muslim adalah cinta yang diwujudkan dengan usaha dan kerja keras agar kaum muslimin (a) maju dalam pendidikan (b) maju dalam ekonomi (c) maju dalam teknologi (d) tidak di bawah derajat negara-negara lain dan (e) mengurus negerinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Cita-cita dari pergerakan Islam ini nanti bisa terwujud dengan berdirinya pemerintahan Islam. Jadi tak mesti nasionalisme, tidak baik bergantung dari niat apakah ingin melaksanakan hukum Islam atau tidak.
 Indonesia sebagai penganut agama Islam terbesar di dunia sepertinya semakin kebingungan dan merasa tidak percaya diri untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok mayoritas. Tanpa kita sadari ternyata budaya ’’kesadaran naif’’ yang ditawarkan oleh barat dengan paradigma hedonisme telah membelenggu kehidupan kita. Apakah kita lupa bahwa pada masa lalu peranan umat Islam untuk membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme barat sangatlah besar, pelopor kebangkitan nasional adalah umat Islam. Salah satu tokohnya H.O.S. Cokroaminoto dengan Sarekat Islamnya yang pada tahun 1916 di Bandung pada saat kongres Nasional Central Sarekat Islam tersebut, Cokroaminoto memperkenalkan paradigma nasionalisme untuk membela dan membangun nusantara.
Dari refleksi tersebut, seharusnya organisasi Islam yang ada dapat mengikuti jejak Sarekat Islam, bukannya saling menutup diri terhadap organisasi Islam lainnya sehingga ukhuwah Islamiyah hanya menjadi slogan saja. Perlu kita renungkan kembali bahwa kebangkitan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah di masa lalu di pelopori oleh gerakan Islam, sehingga ada istilah penjajahan yang di lakukan oleh konolianislme barat (Belanda) terhadap Indonesia merupakan penjajahan yang di lakukan bangsa kafir terhadap umat Islam. Karena di masa penjajahan tersebut, apabila ada orang Islam yang keluar dari agamanya akan di anggap kawan oleh penjajah dan selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Di era modernisasi sekarang Islam harus bangkit, sudah saatnya kaum muda Islam Indonesia meluruskan sejarah peranan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia. Sebab selama bangsa ini dikendalikan oleh pemerintahan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, kelompok Islam dianggap sebagai 'racun' yang dapat menghambat kejayaan rezim tersebut. Oleh karena itu, sejarah perjuangan founding father para kemerdekaan dengan simbol-simbol gerakan Islamnya yang menginginkan kebebasan mutlak bangsa ini dari penindasan kaum penjajah dianggap tidak pernah ada. Pemerintahan orde baru berusaha mendoktrin generasi sekarang agar mereka beranggapan bahwa Islam tidak pernah berbuat apa-apa untuk bangsa ini.
    Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam dan terbesar di dunia merupakan sebuah daya tarik bagi ideologi Islam dunia. Lepasnya bayang-bayang Pancasila mengakibatkan ideologi Islam dunia memasuki wilayah Indonesia tanpa seleksi. Banyak sekali kepentingan-kepentingan negara-negara di dunia yang berideologi Islam untuk menarik Indonesia dalam masalah politik dengan sentimen agama Islam. Jika tidak waspada, bingkai wilayah yang merupakan batas-batas nasionalisme menjadi dunia tanpa batas lagi dalam era globalisasi. Sebuah bingkai nasionalisme Indonesia yang mencari bentuk baru, akan mengalami benturan dan akomodatif terhadap kepentingan nasional. Serbuan ideologi besar dunia yang seringnya diwakili oleh kepentingan barat dan Islam jangan sampai mengakibatkan kehancuran nasionalisme. Nasionalisme yang telah dibina lama dengan semangat Proklamasi 1945 yang sangat menghargai pluralisme terutama dalam beragama tidak boleh hancur hanya karena sebuah kejadian dunia yang direspons secara reaktif.