Mencari
Presiden 2014 Yang Dapat Bersinergi Dengan System Pemerintahan Presidensiil
Deklarasi pencalonan
Presiden 2014 telah santer terdengar di telinga masyarakat. Sebentar lagi
rakyat indonesia akan merayakan pesta demokrasi melalui pemilihan umum yang akan
dilaksanakan pada 9 april 2014. Meskipun pemilu baru akan diadakan pada bulan
mendatang namun kasak-kusuk para politisi tentang siapa calon presiden
Indonesia berikutnya sudah sangat nyaring di telinga. Jika sebagian orang
menganggap ini adalah pembahasan yang sia-sia maka saya berpendapat sebaliknya,
ini adalah bagian dari pendidikan politik yang sangat penting untuk di kupas. Mundurnya SBY dari jabatan orang nomor satu di indonesia
karena telah habis masa jabatannya sudah barang tentu menjadi pintu awal untuk
para figur-figur lain yang berkeinginan menduduki kursi RI 1 di negeri ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tokoh-tokoh muda dan tokoh yang berpengalaman mendeklarasikan diri
untuk maju dalam bursa pilpres 2014.
Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil, yang dalam hal ini
sosok seorang presiden bukan saja hanya menjadi kepala pemerintahan namun juga
menjadi kepala negara, menjadi simbol dari sebuah Negara yang bernama Republik Indonesia.
Sistem pemerintahan ini juga lah yang coba diterapkan oleh kepala Negara kita
saat ini namun sayang ternyata hal itu hanyalah sebuah ilusi. Rekam jejak
pemberlakuan system pemerintahan presidensiil di indonesia menunjukkan bahwa
presidennya tidak mampu menjadi seorang kepala pemerintahan yang dapat membangun
hubungan harmonis dengan perangkat administrasi Negara, apalagi hubungan dengan
rakyat yang telah mengantarnya ke kursi RI 1 tentu lebih tragis lagi ceritanya,
tak ada peningkatan kesejahteraan untuk rakyat yang benar-benar terwujud yang
terjadi hanyalah tingkat kemiskinan semakin melonjak tajam setiap tahunnya.
Lalu jika
selama ini seorang presiden belum mampu menjadi kepala pemerintahan apakah
fungsinya sebagai kepala Negara mampu dilaksanakan , jawabannya juga tidak.
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana sikap seorang kepala Negara Republik Indonesia
menyikapi kasus penyadapan yang dilakukan oleh badan intelijen Australia (DSD)
terhadap diri dan aparatur Negara yang ia pimpin, padahal saat itu jelas posisi seorang presiden adalah simbol dari
sebuah Negara yang bernama indonesia. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah
bagaimana Negara lain bisa menghormati indonesia jika orang yang menjadi simbol
dari Negara tersebut tidak berani menunjukkan sikap perlawanannya terhadap
pelanggaran yang telah di tunjukkan oleh Negara asing. Ketidakberanian seorang
kepala Negara tidak hanya sampai pada kasus penyadapan melainkan
melanglangbuana sampai pada kasus investor asing yang menjarah kekayaan alam
indonesia. Kepela Negara indonesia menyerahkan lapangan migas seperti blokcepu,
blok natuna, blok Mahakam, Madura, papua dan Newmont pada rezim asing untuk
dikelola (rasanya lebih tepat mengatakan untuk dijarah) dan lagi-lagi kebijakan
itu tak sedikitpun memberikan angin kesejahteraan untuk rakyat indonesia.
Rakyat indonesia hanya menjadi pekerja kasar, menjadi kuli dan sekali lagi
menjadi budak bangsa asing karena ketidaktegasan pemimpin yang mereka coblos di TPS.
Jika memang
ternyata seseorang yang kita coblos saat pemilu hanya membawa kesengsaraan
untuk bangsa ini untuk apa kita datang ke TPS, lebih baik tidur-tiduran saja
dirumah menikmati libur khusus untuk pesta demokrasi. Tentu tidak seperti itu
pola pikir yang ingin kita bangun sebagai anak bangsa yang beradap, ketidak
ikutsertaan kita dalam pemilu akan semakin menambah permasalahan bangsa ini
karena satu suara kita yang hilang akan semakin membuka jalan untuk figur-figur
pemimpin yang sebenarnya tak layak memimpin negeri ini untuk menduduki kursi RI
1. Bagaimana pun kita tetap membutuhkan seseorang untuk memimpin negeri ini.
Yang ingin kita cari pada pilpres 2014 ini bukanlah sosok manusia yang katanya
nasionalis tapi ketika rahasia negaranya bocor ke telinga Negara asing hanya
berani melawan lewat tweeter, ketika saudara sebangsanya menjadi kuli di negeri
sendiri untuk rezim asing hanya diam pura-pura tak tahu sambil mengatakan
kesejahteraan rakyat semakin meningkat. Bukan sosok manusia yang katanya
menjunjung nilai tinggi pancasila namun ternyata malah merusak moral anak
bangsa melalui paham-paham liberalis. Bukan juga sosok manusia yang katanya
agamis namun malah tak tahu bagaimana menjalankan sebuah roda pemerintahan.
Bukan pula sosok yang oleh media massa digaung-gaungkan bak malaikat yang
blusukan sana sini tapi tak pernah jelas kerja yang terealisasi apa.
Presiden
2014 yang rakyat indonesia butuhkan adalah sosok manusia yang benar-benar
menyesuaikan dirinya dengan konsep sistem pemerintahan presidensill yang mampu
menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala
negara. Figur pemimpin yang nasionalis,
agamis, menjunjung tinggi nilai pancasila serta paham benar bagaimana harus
menggerakkan roda pemerintahan indonesia ke depannya sebenarnya ada dalam bursa
capre 2014. Jadi masih premature rasanya jika sekarang telah berpikir untuk
golput karena masih banyak bursa koalisi yang akan tercipta pada pemilu
2014 yang tentunya akan semakin menyemarakkan pesta demokrasi 2014. Sekarang
tinggal kita sebagai rakyat, ingin menjadi pemilih yang cerdas atau menjadi
pemilih yang hanya percaya pada pemberitaan media ataupun memilih untuk golput,
semua itu kembali lagi kepada pribadi masing-masing tapi yang perlu kita ingat
adalah” satu suara akan menentukan ke arah mana indonesia ini akan di bawa
kedepannya”.
*) penulis adalah Raihan berasal dari fakultas hukum (Kader KAMMI MP USU/Staff DKP)
*) penulis adalah Raihan berasal dari fakultas hukum (Kader KAMMI MP USU/Staff DKP)