FERNANDO PUTRA GURNING


Semua orangtua pasti pernah bercerita dan menggalaukan isi hatinya kepada anak-anaknya. Orangtua kita pasti pernah bilang kalau dulu mereka lebih susah hidupnya dibandingkan dengan anaknya sekarang. Kita dibilang lebih mudah untuk berkomunikasi pada saat ini hanya dengan BBM-an saja. Sedangkan pada zaman dahulu kala orangtua harus mengirim surat via surat pos bahkan versi terjadulnya (baca: jaman dulu) via udara yakni merpati pos. Memang masa kini dan dahulu tidak sama dan tidak bisa dipaksakan sama. Akan tetapi budi pekerti luhur dan tata krama yang baik tidak boleh pudar dari masa ke masa. Analogi tersebut lebih kurang dapat membandingkan antara pahlawan masa kini dan masa lalu di zaman kemerdekaan.
Pahlawan secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta "phala", artinya hasil atau buah serta akhiran -wan yang berarti orang yang melakukan sehingga pahlawan bermakna orang yang menghasilkan buah. Sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; atau pejuang yang gagah berani. Selain itu, masih banyak lagi versi mengenai pengertian pahlawan.
Setiap pribadi pasti memiliki sosok pahlawan itu di dalam dirinya sendiri. Setiap orang pasti dapat menjadi pahlawan. Nenek-nenek pun dapat menjadi pahlawan pada masa kini. Hal itu terbukti dalam lagu Band Wali yang berjudul “Nenekku Pahlawanku.” Pahlawan bisa juga berasal dari luar diri kita, seperti orangtua, guru, bahkan cleaning service. Pahlawan pada masa kini tidak harus membawa bambu runcing untuk dapat disebut sebagai pahlawan. Cukup dengan sebuah sapu pel, seorang cleaning service dapat disebut sebagai pahlawan. Kita tidak boleh merendahkan profesi yang mulia ini karena tanpanya kita tidak bisa mempunyai lantai yang bersih selama kuliah. Akan tetapi fakta yang sering kita temukan berkata lain. Cleaning service bagi kita hanyalah invisible hero. Jika berjalan melewati seorang cleaning service yang sedang mengepel alangkah jarangnya kita untuk berkata permisi dan bahkan ada dari kita yang hanya lewat saja seperti tidak ada orang di sekitar kita. Invisible bukan? Marilah kita menghormati jasa dari pahlawan kita karena jika kita tidak bisa menghormati pahlawan maka kita tidak dapat menjadi pahlawan sejati pula.
Kita pasti selalu menghubungkan pahlawan dengan tanggal 10 November 1945. Memang pada tanggal tersebut terjadi pertempuran besar antara Indonesia dan Belanda di Surabaya yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Akan tetapi, alangkah bijaknya tanggal 10 November tidak hanya dijadikan kenangan akan jasa pahlawan kita saja. Kenangan bukan hanya untuk dikenang saja tanpa adanya inisiatif dari diri sendiri untuk ingin menjadi salah satu dari mereka. Semua tanggal adalah hari-hari yang dapat kita pakai untuk membangun diri kita menjadi pahlawan sejati. Pahlawan sejati pada saat kini sangatlah diperlukan di tengah zaman yang kian edan kian hari.
Menurut penulis, pahlawan banyak jenisnya. Ada pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan devisa, dan ada pula pahlawan kesiangan. Pahlawan tanda tanda jasa pasti tidak lain dan tidak bukan adalah guru. Itu dulu. Sekarang kita dapat lihat berapa banyak guru yang mendaftarkan dirinya untuk sertifikasi demi mengejar materi dan mengesampingkan ilmu yang seharusnya tersalurkan ke otak murid didiknya. Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk memberikan gelar pahlawan juga kerap kali mengabaikan nasib segelintir guru-guru luar biasa yang rela mengajar di daerah terpencil. Film Laskar Pelangi dapat menjadi contohnya. Jika berbicara pahlawan devisa maka langsung kita teringat dengan TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Akhir-akhir ini kita pasti sulit membedakan antara TKI dan baju obralan. Keduanya sekarang sudah ON SALE. Ajaib bukan? TKI sebagai penyumbang devisa terbesar untuk tanah air tercinta ini sangatlah tidak layak untuk diperlakukan seperti baju obralan di supermarket. Mana andil pemerintah? Ikutilah pesan rokok: ”Talk less do more”. Selain pahlawan-pahlawan di atas ada juga pahlawan kesiangan. Pahlawan ini bukanlah pahlawan yang bangun kesiangan karena begadang nonton El-Classico. Akan tetapi pahlawan yang satu ini adalah pahlawan yang tidak mau ambil resiko karena mengamalkan ilmu cari amannya. Pahlawan kesiangan itu baru muncul ketika semua keadaan aman dan menyerukan dirinya sebagai pahlawan tanpa mau ikut berjuang selama masa sulit. Pahlawan yang satu ini merupakan contoh pahlawan yang tidak patut untuk dicontoh.
Sudahkah kita menjadi pahlawan sejati? Kalau belum, marilah kita membangun tubuh kita menjadi pahlawan dengan membangun bangsa ini pula menuju ke arah yang lebih baik. Apabila sudah, jadilah inspirasi untuk orang di sekitar kita sehingga pahlawan-pahlawan baru bermunculan. Jangan mau kita kalah dengan Marvel Comic dari negeri Paman Sam yang terus menelurkan pahlawan-pahlawan supernya. Jadilah super seperti kata Bapak Mario Teguh dengan jargonnya: “Salam Super!”. Sebagai mahasiswa, kita dapat memulai dari hal yang sangat kecil terlebih dahulu. Tidak TA (Titip Absen)! Karena TA adalah akar dari korupsi pada saat kita terjun dalam dunia pekerjaan nantinya. Diberi tanggung jawab untuk jujur menandatangani absen sendiri saja, tanpa ada unsur uang di dalamnya saja, sudah susah. Apalagi diberi tanggung jawab besar yang berhubungan dengan keuangan. Marilah kita jadi pahlawan anti korupsi di masa depan, terlebih lagi anti kolusi dan nepotisme.
Oleh sebab itu, pahlawan sejati tidaklah harus menjadi pahlawan nasional dengan tanda jasa. Pahlawan adalah pribadi yang berani membela kebenaran dan menghasilkan buah di tengah-tengah kehidupannya. Sudahkah hati kita tergerak untuk menjadi pahlawan sejati?
SELAMAT HARI PAHLAWAN.