Semua orangtua pasti pernah
bercerita dan menggalaukan isi hatinya kepada anak-anaknya. Orangtua kita pasti
pernah bilang kalau dulu mereka lebih susah hidupnya dibandingkan dengan
anaknya sekarang. Kita dibilang lebih mudah untuk berkomunikasi pada saat ini hanya
dengan BBM-an saja. Sedangkan pada
zaman dahulu kala orangtua harus mengirim surat via surat pos bahkan versi
terjadulnya (baca: jaman dulu) via udara yakni merpati pos. Memang masa kini
dan dahulu tidak sama dan tidak bisa dipaksakan sama. Akan tetapi budi pekerti
luhur dan tata krama yang baik tidak boleh pudar dari masa ke masa. Analogi
tersebut lebih kurang dapat membandingkan antara pahlawan masa kini dan masa
lalu di zaman kemerdekaan.
Pahlawan secara
etimologi berasal dari bahasa Sanskerta "phala", artinya hasil atau buah serta akhiran -wan yang berarti orang yang melakukan
sehingga pahlawan bermakna orang yang menghasilkan buah. Sedangkan berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; atau pejuang yang gagah
berani. Selain itu, masih banyak lagi versi mengenai pengertian
pahlawan.
Setiap pribadi pasti memiliki sosok pahlawan itu di
dalam dirinya sendiri. Setiap orang pasti dapat menjadi pahlawan. Nenek-nenek
pun dapat menjadi pahlawan pada masa kini. Hal itu terbukti dalam lagu Band
Wali yang berjudul “Nenekku Pahlawanku.”
Pahlawan bisa juga berasal dari luar diri kita, seperti orangtua, guru, bahkan cleaning service. Pahlawan pada masa
kini tidak harus membawa bambu runcing untuk dapat disebut sebagai pahlawan.
Cukup dengan sebuah sapu pel, seorang cleaning
service dapat disebut sebagai pahlawan. Kita tidak boleh merendahkan
profesi yang mulia ini karena tanpanya kita tidak bisa mempunyai lantai yang
bersih selama kuliah. Akan tetapi fakta yang sering kita temukan berkata lain. Cleaning service bagi kita hanyalah invisible hero. Jika berjalan melewati
seorang cleaning service yang sedang
mengepel alangkah jarangnya kita untuk berkata permisi dan bahkan ada dari kita
yang hanya lewat saja seperti tidak ada orang di sekitar kita. Invisible bukan? Marilah kita
menghormati jasa dari pahlawan kita karena jika kita tidak bisa menghormati
pahlawan maka kita tidak dapat menjadi pahlawan sejati pula.
Kita pasti selalu menghubungkan pahlawan dengan
tanggal 10 November 1945. Memang pada tanggal tersebut terjadi pertempuran
besar antara Indonesia dan Belanda di Surabaya yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Akan tetapi, alangkah bijaknya tanggal 10
November tidak hanya dijadikan kenangan akan jasa pahlawan kita saja. Kenangan
bukan hanya untuk dikenang saja tanpa adanya inisiatif dari diri sendiri untuk
ingin menjadi salah satu dari mereka. Semua tanggal adalah hari-hari yang dapat
kita pakai untuk membangun diri kita menjadi pahlawan sejati. Pahlawan sejati
pada saat kini sangatlah diperlukan di tengah zaman yang kian edan kian hari.
Menurut penulis,
pahlawan banyak jenisnya. Ada pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan devisa, dan
ada pula pahlawan kesiangan. Pahlawan tanda tanda jasa pasti tidak lain dan
tidak bukan adalah guru. Itu dulu. Sekarang kita dapat lihat berapa banyak guru
yang mendaftarkan dirinya untuk sertifikasi demi mengejar materi dan
mengesampingkan ilmu yang seharusnya tersalurkan ke otak murid didiknya.
Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk memberikan gelar pahlawan juga kerap
kali mengabaikan nasib segelintir guru-guru luar biasa yang rela mengajar di
daerah terpencil. Film Laskar Pelangi dapat menjadi contohnya. Jika berbicara
pahlawan devisa maka langsung kita teringat dengan TKI (Tenaga Kerja
Indonesia). Akhir-akhir ini kita pasti sulit membedakan antara TKI dan baju
obralan. Keduanya sekarang sudah ON SALE.
Ajaib bukan? TKI sebagai penyumbang devisa terbesar untuk tanah air tercinta
ini sangatlah tidak layak untuk diperlakukan seperti baju obralan di supermarket. Mana andil pemerintah?
Ikutilah pesan rokok: ”Talk less do more”.
Selain pahlawan-pahlawan di atas ada juga pahlawan kesiangan. Pahlawan ini
bukanlah pahlawan yang bangun kesiangan karena begadang nonton El-Classico. Akan tetapi pahlawan yang
satu ini adalah pahlawan yang tidak mau ambil resiko karena mengamalkan ilmu
cari amannya. Pahlawan kesiangan itu baru muncul ketika semua keadaan aman dan
menyerukan dirinya sebagai pahlawan tanpa mau ikut berjuang selama masa sulit.
Pahlawan yang satu ini merupakan contoh pahlawan yang tidak patut untuk dicontoh.
Sudahkah kita
menjadi pahlawan sejati? Kalau belum, marilah kita membangun tubuh kita menjadi
pahlawan dengan membangun bangsa ini pula menuju ke arah yang lebih baik. Apabila
sudah, jadilah inspirasi untuk orang di sekitar kita sehingga pahlawan-pahlawan
baru bermunculan. Jangan mau kita kalah dengan Marvel Comic dari negeri Paman Sam yang terus menelurkan
pahlawan-pahlawan supernya. Jadilah super
seperti kata Bapak Mario Teguh dengan jargonnya: “Salam Super!”. Sebagai
mahasiswa, kita dapat memulai dari hal yang sangat kecil terlebih dahulu. Tidak
TA (Titip Absen)! Karena TA adalah akar dari korupsi pada saat kita terjun
dalam dunia pekerjaan nantinya. Diberi tanggung jawab untuk jujur
menandatangani absen sendiri saja, tanpa ada unsur uang di dalamnya saja, sudah
susah. Apalagi diberi tanggung jawab besar yang berhubungan dengan keuangan.
Marilah kita jadi pahlawan anti korupsi di masa depan, terlebih lagi anti
kolusi dan nepotisme.
Oleh sebab itu, pahlawan sejati tidaklah harus
menjadi pahlawan nasional dengan tanda jasa. Pahlawan adalah pribadi yang
berani membela kebenaran dan menghasilkan buah di tengah-tengah kehidupannya.
Sudahkah hati kita tergerak untuk menjadi pahlawan sejati?
SELAMAT HARI PAHLAWAN.