Nageeta Tara Rosa: HARI PAHLAWAN, BUKAN SEKEDAR SEREMONIAL BELAKA.


HARI PAHLAWAN, BUKAN SEKEDAR SEREMONIAL BELAKA.
"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 orang pemuda,maka akan ku goncang dunia." (Soekarno)

Sebuah awalan quote yang bisa menjadi representasi dinamika dunia kepemudaan
bangsa ini. Bahwa begitu BESARNYA harapan Soekarno kepada pemuda yang sekaligus berperan dalam sebuah jalur, yaitu sebagai Agent Of Change. Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan. Bahkan dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia, telah tertorehkan beragam peran pemuda dalam hal perubahan. Tak terkecuali dalam sejarah bangsa Indonesia, para pemuda menorehkan hal yang demikian. Berdirinya organisasi pemuda di masa penjajahan, tercetusnya Sumpah Pemuda 1928, hingga peran pemuda dalam membantu memproklamirkan kemerdekaan.
Peristiwa 10 November 1945 merupakan pertempuran yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya ada 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Keringat, air mata, dan darah adalah bukti perjuangan pejuang bangsa demi mempertahankan kemerdekaan kala itu. Hingga detik ini, setiap momentum sejarah, bangsa Indonesia diberi waktu untuk mengenang dan merenungkan kembali perjuangan para pahlawan terdahulu.
Sudah menjadi ritual bangsa ini untuk selalu memperingati setiap momentum sejarah yang telah di ukir sebagai wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaan. Peringatan hari pahlawan  ini selalu diawali dengan upacara yang  dilaksanakan di sekolah- sekolah atau pun instansi pemertintah dan swasta lainnya.
Namun pertanyaannyaa adalah “apakah hanya dengan seremonial  momentum berharga dengan upacara setahun sekali sudah merupakan penghormatan luar biasa terhadap pahlawan kita?. Tentu jawabannya tidak, karena sesungguhnya yang di butuhkan bangsa ini adalah mereka, pemuda bangsa yang penuh optimisme dalam membentuk suatu bangsa yang di idam – idamkan semua pihak.
Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsa sendiri.” (Soekarno).
Mengisi kemerdekaan dengan belajar sungguh - sungguh seharusnya bukan menjadi kata - kata mutiara yang tersimpan apik di dalam ingatan saja. Terkhusus, untuk kita yang sedang mengemban bangku perkuliahan. Zaman yang kita hadapi sekarang berbeda dengan zaman sebelum kemerdekaan. Musuh yang kita hadapi sekarang juga berbeda dengan musuh yang dihadapi sebelum kemerdekaan. Bahkan cara yang kita pergunakan untuk perjuangan sudah seharusnya berbeda dengan cara sebelum kemerdekaan.
Seks bebas, party hingga larut malam, nyabu adalah sedikit dari permasalahan pemuda saat ini. Tak sedikit dari mereka yang banyak menghabiskan waktu untuk kongkow di meja kafe, berjoget – joget di bawah lampu disko, juga berteriak histeris saat artis – artis korea mereka muncul di Tv, akibatnya? mereka rela menghabiskan waktu berjam – jam untuk sekedar mengikuti film yang penuh intrik halusinasi terhadap keinginan memiliki pasangan yang persis ada di layar televisi. Juga ketika mereka berlagak mengikuti aksen berbicara dengan Sarang hae (yo) , sarang ppajida, saengil chukha hamnida, gomaweo, atau yang lainnya yang membuat lidah saya kelu untuk menyebutkannya. Bahkan mereka rela memperkaya orang lain dan memiskinkan diri sendiri. Miskin harta, miskin ilmu, dan miskin moral. Saya mengutip bahwa ada sebuah catatan luar biasa ketika pendapatan industri K-pop korea mencapai USD3,4 Miliar pada 2011 (CNBC.com), salah satu konsumen yang menyumbangkan angka tersebut adalah pemuda Indonesia. Lalu, untuk industri kebudayaan negeri sendiri? menyedihkan!
Apa sebenarnya yang salah dengan pemuda di negeri ini?

Sedikitnya ada tiga hal yang menyebabkan pemuda Indonesia berada  di ambang ke-krisis-an. Meski telah terendus aromanya oleh semua kalangan namun belum juga mencapai titik pusat penyelesaian permasalahnanya. Pertama, masih ingatkah teman tentang  bentrok  yang santer di beritakan dimedia antara  SMA 70 dan SMA 6 Bulungan, Jakarta SelatanAksi yang terjadi Senin, 24 September 2012 menewaskan satu pelajar berinisial AY. Lihatlah, betapa memudarnya rasa persatuan dan kesatuan yang terjadi pada generasi penerus bangsa Indonesia kita ini. Hal tersebut dapat kita lihat lagi dari kasus-kasus bentrok antar pelajar atau mahasiswa, bentrok antar seporter sepakbola, bentrok antar genk, dan lain sebagainya. Kita mudah dipengaruhi atau diprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Keadaan seperti inilah yang menjadi bibit-bibit terjadinya konflik yang lebih besar seperti konflik antar agama, ras, maupun suku.

Kedua, arus globalisasi yang tidak diimbangi dengan kontrol sosial dari lingkungan sosialnya. Memang benar bahwa mengikuti Budaya luar adalah pilihan. Kita tidak bisa menyalahkan budaya luar, yang salah adalah kita yang mengikuti budaya mereka. Mereka punya sejarah budaya itu sendiri sehingga mampu menghayati sisi positif budaya mereka. Sedangkan kita mengambil secara instan sehingga lebih cenderung menonjolkan sisi negatifnya. Padahal kita memiliki sejarah budaya sendiri yang pasti kita tau sisi positifnya. Namun sayang sekarang ini sudah terlalu banyak budaya kita yang sudah terhapus. Budaya ini mentah – mentah tidak di pertahankan pemerintah. Bangunan lama dirobohkan kemudian diganti dengan gedung – gedung tinggi pencakar langit, pulau – pulau yang dengan gampang di rebut Negara luar, juga berbagai assets Negara yang kurang dijaga dan di support oleh pemerintah. Anehnya kita tidak belajar dari pengalaman itu, kita tetap tidak mau mempertahankan atau belajar dari tadisi nenek moyang kita.
Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe.
Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta
 “Apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini dan itu”.
 “Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
Ketiga,  hilangnya nilai moral kejujuran pemuda – pemudi bangsa. Jujur?  Emang penting menjadi seorang yang jujur? Ketika kiat menjadikan kebohongan sebagai tindakan refleks, maka tanpa kita sadari kita tengah menenggelamkan diri kita dalam berbagai bentuk asusila kehidupan. Dimulai dari membohongi guru > mencontek > menyogok > dan tiba masanya menjadi seorang koruptor. Saat ini, korupsi bukan lagi suatu pelanggaran hukum, akan tetapi di Indonesia korupsi sudah sekedar menjadi suatu kebiasan, korupsi di Indonesia berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan para pejabat dari level tertinggi pejabat negara, sampai ke tingkat RT yang paling rendah. Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya penyakit ini bagai virus yang dengan gampangnya menggerogoti tubuh kita.
Oleh sebab itu, untuk membentuk karakter dan kepribadian yang dibutuhkan bangsa saat ini, ada baiknya pemuda menilik serta terlibat dari organisasi-organisasi pemuda seperti KAMMI, HMI, LDK, IMM, juga berbagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan lainnya. Karena Rasulullah SAW mengingatkan :
“Barang siapa bangun pagi hari dan hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Barang siapa tidak pernah memperhatikan urusan kaum muslimin yang lain, maka tidak termasuk golonganku”. (HR. Thabrani dari Abu Dzar Al-Ghifari)
Mari ambil bagian dalam mengisi kemerdekaan dengan melakukan tindakan membangun Indonesia lebih gemilang.  Bersemangatlah, Pemuda!