REFLEKSI
PAHLAWAN MASA KINI
Penulis : raja porkot siregar
Peternakan usu
090306003
Judul. Ifdah
Binafsih “Mulai Dari Diri Sendiri”.
10 November merupakan hari istimewa
yang dijadikan momentum bagi bangsa Indonesia, guna mengenang jasa para
pahlawan atau yang dikenal dengan Hari Pahlawan. Ya, mengingat pada hari ini
telah terjadi peristiwa besar antara pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
masyarakat sipil, pemuda (yang dimotori oleh Bung Tomo), dan tokoh-tokoh agama
dengan pasukan Belanda di Surabaya. Perang yang berlangsung selama tiga minggu
ini telah memakan korban ribuan orang dari pihak Indonesia dan sekutu.
Tujuannya untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara pasca kemerdekaan.
Sehingga, pantaslah jika pada hari ini Presiden Soekarno sebagai pemangku
jabatan kala itu menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Namun, bagaimana kita harus bersikap
agar dapat membalas jasa para pahlawan? Apakah cukup dengan sebatas perayaan
seremonial? Adakah pahlawan di masa kini? Siapa? Atas dasar apa kita menganugerahi
“dia” sebagai pahlawan setelah kolonialisme usai diberangus?
Jawabannya ada pada diri kita
sendiri, untuk membalas jasa pahlawan, kita tidak perlu lagi berperang untuk
membangkitkan kebersatuan melawan penjajah secara fisik, melainkan berperang
untuk menegakkan harga diri bangsa yang semakin hari hilang digerus oleh
keserakahan dalam bingkai individualisme.
Saat kemiskinan bukan menjadi
masalah bersama dan sering dipolitisasi oleh kekuasaan demi keuntungan
sekelompok orang, saat kebodohan dianggap sebagai fenomena biasa, saat itulah
refleksi pahlawan tidak memiliki banyak arti, kecuali seremoni belaka.
Pahlawan
masa kini adalah kita para pemuda, Pemuda adalah tulang punggung. Mereka yang
akan meneruskan perjalanan bangsa ini. Pemuda adalah agen perubahan. Pemuda merupakan aset bangsa. Setidaknya ada 3
fungsi penting pemuda, yaitu sebagai agen perubahan, sebagai iron stock
(cadangan masa depan), dan sebagai kekuatan moral intelektual. Hendaknya, hal
inilah yang harus ditanamkan dalam jiwa para pemuda pada rekonsiliasi tersebut.
Pahlawan masa kini tiada lain adalah
sosok diri anda (saya, kamu, dia, mereka dan semua para pemuda), anda para
pemuda yang sedang menyetir arah laju suatu bangsa. anda yang sedang memangku
tanggung jawab sebagai khalifah fil ardh.
Anda yang tidak menuding kesalahan orang lain sebagai penyebab dari
hancurnya suatu bangsa. Anda yang di dalamnya tercermin akhlak mahmudah atau
madzmumah sebagai penentu dari keberlangsungan cita-cita luhur para pahlawan.
Anda, sesosok makhluk hidup yang memiliki dua ratus milyar sel otak.
Rasul Saw. bersabda: “Ketahuilah!
Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Artinya, setiap manusia adalah pemimpin. Dengan kepemimpinannya itu,
mengakibatkan setiap diri Anda bisa menjadi pahlawan atau sebaliknya, bukan
hanya untuk kalangan terdekat seperti keluarga, kerabat, teman, dan lain-lain.
Tetapi juga dapat berimplikasi pada masyarakat luas, bahkan bangsa dan dunia.
Masih belum maksimalnya peran
pemuda dalam kepemimpinan di masa kini harus diakui. Secara positif hal
tersebut harus dimaknai dalam konteks refleksi para calon pemimpin politik
bangsa ini. Memahami konteks dan fakta politik kekinian, kita semua bisa
merasakannya dalam berbagai level kehidupan kita.
Kaum muda yang berperan demikian
besar dalam merombak struktur kekuasaan negeri ini nyatanya tidak sedikit dari
mereka yang mengisi reformasi dengan semangat oportunistik, dan malah tak sadar
mengembangkan sikap kepolitikan yang dahulu dibenci. Mereka “tidak gigih” menjaga aura reformasi
dengan idealisme untuk membangun habitus kebangsaan yang sehat dan benar-benar
bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ini karena tidak sedikit pula dari
mereka yang menjadi bagian dari hal itu dalam berbagai petualangan politiknya.
Tentu saja ini harus direspons
sebagai autotokritik bagi kaum muda dalam dunia politik, pun dunia lainnya.
Persoalan kita saat ini adalah lemahnya cara pandang yang mampu menggempur pola
pikir yang seolah-olah kehidupan hanya akan berjalan bila ditopang dengan uang
dan kuasa. Pola pikir ini sering
membentuk watak kekuasaan kita dalam wajah yang demikian bengis. Kehidupan
rakyat sering dirusak karena pola pikir yang individualistik, dan“mencari
selamat sendiri-sendiri”.
Kaum muda nyaris kehilangan
kemampuan untuk mendobrak semua ini karena setelah mereka masuk dalam lingkaran
kekuasaan, justru mereka hanyut. Cara
berpikir, bertindak, dan berelasi dalam dunia politik nyaris stagnan karena tak
ada perubahan. Mentalitas reformis, kreatif, dan pengenalan budaya alternatif
hanya ada dalam kata-kata dan tak pernah menjelma menjadi tindakan nyata.
Uang menjadi mahakuasa dalam
menentukan berbagai hal yang menguntungkan para pemimpin dan pejabatnya, dan
tak jarang bahkan menjadi elemen perusak kehidupan rakyat melalui
kebijakan-kebijakan yang bersifat menindas.
Kita kembali kepada judul kita
mulai dari diri sendiri, contoh kecilnya, sampah. Ketika kita melihat orang
lain membuang sampah di jalanan, kita sadar bahwa hal itu merupakan tindakan
yang kurang baik, maka sudah seharusnya kita pun tidak melakukan hal yang sama.
Sehingga, diawali dari kesadaran sosok diri yang tidak membuang sampah
sembarangan, bisa membuat lingkungan jadi bersih.
Sampah yang kecil tadi juga
apabila kita buang disembarang tempat mugkin belum apa-apa hanya satu sampah,
tetapi bagaimana bila semua orang buang sampah sembarangan ditempat yang sama,
maka terciptalah gunungan sampah.
Seandainya sosok diri ini terhimpun dalam kesadaran yang
sama, bahwa ibda bi nafsik, memulai
segala sesuatu dari diri sendiri, maka coba Anda bayangkan berapa banyak orang
yang akhirnya tidak membuang sampah secara sembrono. Dan ini akan berimplikasi
besar bagi keberlangsungan makhluk hidup secara luas di dunia. Ini hanya contoh
kecil dari kesadaran dalam hal membuang sampah. Bagaimana jika kesadaran itu
tercermin dalam sikap yang lebih luas, seperti sikap anti korupsi, sikap anti
kekerasan, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan betapa damainya hidup ini
dengan konsep “ibda bi nafsik”.
Jadi, mereka yang memulai segala kebaikan atas dasar
kesadaran diri inilah yang patut diacungi jempol. Merekalah pahlawan, baik di
masa lalu, kini dan nanti. Karena dengan kesadaran diri ini, mereka dapat
mengubah diri, keluarga, bangsa, bahkan dunia menjadi lebih baik. Bukankah
gelar pahlawan diberikan pada orang-orang yang telah berani mengubah sesuatu
yang dinilai buruk menjadi sesuatu yang lebih baik? Bukankah seorang pahlawan
adalah mereka yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran? Mereka yang berjuang demi kebaikan secara gagah berani? Dan,
bukankah membuang sampah pada tempatnya, berlaku jujur, bersikap tepo sliro, menaklukkan ego diri ini
dibutuhkan keberanian yang sangat besar?
Begitu pula saat negara ini merdeka. Jika bukan karena
memulai segala keberanian itu dalam diri, maka yang akan tertjadi bukanlah
kemerdekaan. Melainkan saling tuding, saling ejek, dan sebagainya.
Karenanya, marilah kita mengubah diri kita sendiri menjadi sosok manusia yang
lebih baik dan bertanggung jawab. Sehingga, kita dapat mengubah dunia menjadi
lebih baik. Inilah pahlawan yang sesungguhnya. Ubah diri, lalu ubahlah dunia. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka (kaum
tersebut) mengubah diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 79).
Jadi intisarinya jadilah pahlawan minimal untuk diri sendiri
karena jiwa kepahlawanan itu ada pada diri kita sendiri, dan jangan jadi
pahlawan kesiangan atau bahkan sok pahlawan.