PAHLAWAN
SEDERHANA
Dia atau mereka dengan
senjata yang siap melawan setiap musuh yang datang menyerang. Mungkin begitulah
sosok pahlawan yang tergambar di dalam pikiran kita. Tidak salah memang,
pahlawan cenderung identik dengan senjata dan keberaniannya dalam melawan
musuh. Akan tetapi, kalaulah hanya sebatas itu saja definisi pahlawan bagi
kita, tentu tidak ada orang yang dapat disebut sebagai pahlawan di negara kita
saat ini atau mungkin istilah ‘pahlawan’ hanya dapat disematkan kepada para
polisi atau tentara saja.
Semua orang bisa menjadi
pahlawan karena pada hakekatnya pahlawan adalah dia yang berani membela
kebenaran. Apapun bentuk kebenaran itu, sekalipun berupa hal-hal yang dianggap
kecil dan sepele, selama ia berani membela dengan segenap jiwanya, ia layak
untuk disebut pahlawan. Membela kebenaran di masa ini bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan. Bahkan, saat ini banyak orang yang berpikir bahwa membela
kebenaran hanya akan mendatangkan kesulitan; ada yang dipecat dari
pekerjaannya, ada yang dicemooh oleh masyarakat di sekitarnya, ada yang
mendapat ejekan ‘sok alim’, dan sebagainya. Semua kondisi tersebut telah sukses
menjadikan sebagian besar masyarakat menjadi fobia terhadap hal-hal yang terkait
dengan ‘membela kebenaran’.
Menjadi pahlawan masa
kini berarti harus siap untuk dianggap ‘aneh’ oleh orang lain, siap untuk
menghadapi rangkaian kesulitan yang akan menerpa, siap untuk dihina, bahkan
mungkin siap untuk menginap di hotel prodeo. Semengerikan itukah ketika kita
mencoba untuk membela kebenaran? Kita bisa melihat berbagai fakta yang ada saat
ini, misalnya pada kasus pemberantasan korupsi. Seseorang yang mengadukan kasus
korupsi memiliki akhir cerita yang berbeda-beda; ada yang tuduhannya terbukti
sehingga para biang keladi korupsi dapat terungkap dan ditangkap, ada yang
berlarut-larut hingga kasus tersebut tak jelas ke mana berbuntut, ada yang
diteror, ada yang balik difitnah, bahkan ada yang harus kehilangan nyawa.
Mungkin kasus korupsi
di lingkup pemerintahan terlalu jauh dari pikiran kita. Mari kita ambil contoh
yang paling dekat dengan kehidupan kita, dalam lingkup kampus dan mahasiswa,
misalnya. Mahasiswa seperti apakah yang dapat disebut sebagai pahlawan? Apakah
mahasiswa yang suka tawuran dengan dalih menjaga harga diri fakultas, melakukan
aksi anarkis dengan dalih menyampaikan aspirasi mahasiswa, melawan dosen dengan
dalih menegakkan kebenaran di fakultas, menindas adik tingkat dengan dalih
untuk pendidikan, atau bagaimana? Secara kasat mata, kita akan melihat betapa
berani dan gagahnya mahasiswa melakukan hal-hal tersebut. Namun, ketahuilah
bahwa di balik itu semua hanya ada nilai nol, bahkan minus untuk keberanian dan
kegagahan yang mereka tunjukkan.
Yang menjadi
permasalahan adalah seringkali keberanian menggebu yang mereka (baca:
mahasiswa) miliki tidak digunakan untuk membela kebenaran yang seharusnya dan
selayaknya untuk ditegakkan. Apakah wajar bagi seorang mahasiswa melakukan
tawuran antar fakultas hanya karena tidak mau dianggap remeh oleh fakultas lain?
Yakinlah, bukan reputasi baik yang didapat, melainkan fakultas yang melakukan
tawuran tersebut pastilah akan semakin dianggap remeh oleh fakultas lain.
Alangkah baiknya, jika
memang bertujuan agar tidak mau dianggap remeh oleh fakultas lain, ada jalan
lain yang lebih rasional misalnya dengan saling berlomba untuk menunjukkan prestasi
di masing-masing fakultas, bukankah itu jauh lebih baik? Bahkan dengan mencetak
prestasi, mahasiswa bisa menjalankan fungsinya sebagai agent of change alias agen perubahan di kampus. Dengan menjadi agen
perubahan, mahasiswa dapat menebarkan semangat kepahlawan kepada mahasiswa dan
masyarakat di sekitarnya. Misalnya, membuat gerakan ‘kampus asri’, ‘kampus
bersih’, atau ‘kampus sehat’ dengan cara bahu-membahu membersihkan kampus.
Gerakan-gerakan seperti ini dapat ditularkan ke masyarakat sehingga masyarakat pun
menjadi sadar akan pentingnya hidup bersih dan sehat. Gerakan seperti ini jauh
lebih terasa manfaatnya daripada gerakan-gerakan tawuran atau aksi anarkis.
Ide-ide solutif inilah yang harusnya ada di setiap benak mahasiswa saat ini. Untuk
itu, setiap mahasiswa harus meninggalkan kebiasaan lama mereka yang sibuk
menyampaikan aspirasi, namun lupa untuk memberikan solusi.
Hal di atas hanyalah
satu dari sekian banyak aplikasi semangat kepahlawan yang bisa ditunjukkan oleh
generasi saat ini. Menyebarkan semangat kepahlawanan bukanlah suatu hal yang
rumit. Dalam hal kecil, sebagai mahasiswa, kita dapat memulainya dengan tidak
melakukan TA alias ‘titip absen’ dengan teman, tidak mencontek atau berbuat
curang dalam ujian, memakai pakaian yang pantas dan sopan ke kampus, tidak
melakukan acara ‘kumpul-kumpul’ tanpa tujuan yang jelas dan bermanfaat, dan
hal-hal kecil lainnya. Dalam masyarakat kampus, seringkali saat kita berada
pada jalan yang benar, kita justru dianggap ‘cupu’ atau tidak setia kawan. Di
sinilah letak tantangan dan pengorbanannya sebab inilah yang menjadi musuh kita
saat ini, yakni diri kita sendiri. Dalam hal tersebut, kita diuji seberapa
konsisten diri kita untuk tidak TA dan di-TA-kan atau tidak mencontek dan
dicontek, dengan konsekuensi mungkin orang lain akan mengira bahwa pemikiran
kita sudah tidak sejalur lagi dengan mahasiswa yang lain sehingga mahasiswa
lain akan menghindar dari kita. Ini adalah contoh sederhana dalam membela
kebenaran di kampus. Membela kebenaran itu dimulai dari sini, membela apa yang
diyakini benar oleh diri sendiri. Setelah kita sanggup untuk memulainya dari
hal yang kecil dan dari diri sendiri, barulah kita bisa dengan mudah menyebarkan
semangat membela kebenaran yang lebih besar kepada orang lain yang ada di
sekitar kita. Berawal dari mahasiswa, mari kita ciptakan Indonesia yang lebih
baik. Selamat menyebarkan kebaikan.