RIZKA HIDAYATI: PAHLAWAN SEDERHANA


PAHLAWAN SEDERHANA

Dia atau mereka dengan senjata yang siap melawan setiap musuh yang datang menyerang. Mungkin begitulah sosok pahlawan yang tergambar di dalam pikiran kita. Tidak salah memang, pahlawan cenderung identik dengan senjata dan keberaniannya dalam melawan musuh. Akan tetapi, kalaulah hanya sebatas itu saja definisi pahlawan bagi kita, tentu tidak ada orang yang dapat disebut sebagai pahlawan di negara kita saat ini atau mungkin istilah ‘pahlawan’ hanya dapat disematkan kepada para polisi atau tentara saja.
Semua orang bisa menjadi pahlawan karena pada hakekatnya pahlawan adalah dia yang berani membela kebenaran. Apapun bentuk kebenaran itu, sekalipun berupa hal-hal yang dianggap kecil dan sepele, selama ia berani membela dengan segenap jiwanya, ia layak untuk disebut pahlawan. Membela kebenaran di masa ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Bahkan, saat ini banyak orang yang berpikir bahwa membela kebenaran hanya akan mendatangkan kesulitan; ada yang dipecat dari pekerjaannya, ada yang dicemooh oleh masyarakat di sekitarnya, ada yang mendapat ejekan ‘sok alim’, dan sebagainya. Semua kondisi tersebut telah sukses menjadikan sebagian besar masyarakat menjadi fobia terhadap hal-hal yang terkait dengan ‘membela kebenaran’.
Menjadi pahlawan masa kini berarti harus siap untuk dianggap ‘aneh’ oleh orang lain, siap untuk menghadapi rangkaian kesulitan yang akan menerpa, siap untuk dihina, bahkan mungkin siap untuk menginap di hotel prodeo. Semengerikan itukah ketika kita mencoba untuk membela kebenaran? Kita bisa melihat berbagai fakta yang ada saat ini, misalnya pada kasus pemberantasan korupsi. Seseorang yang mengadukan kasus korupsi memiliki akhir cerita yang berbeda-beda; ada yang tuduhannya terbukti sehingga para biang keladi korupsi dapat terungkap dan ditangkap, ada yang berlarut-larut hingga kasus tersebut tak jelas ke mana berbuntut, ada yang diteror, ada yang balik difitnah, bahkan ada yang harus kehilangan nyawa.
Mungkin kasus korupsi di lingkup pemerintahan terlalu jauh dari pikiran kita. Mari kita ambil contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita, dalam lingkup kampus dan mahasiswa, misalnya. Mahasiswa seperti apakah yang dapat disebut sebagai pahlawan? Apakah mahasiswa yang suka tawuran dengan dalih menjaga harga diri fakultas, melakukan aksi anarkis dengan dalih menyampaikan aspirasi mahasiswa, melawan dosen dengan dalih menegakkan kebenaran di fakultas, menindas adik tingkat dengan dalih untuk pendidikan, atau bagaimana? Secara kasat mata, kita akan melihat betapa berani dan gagahnya mahasiswa melakukan hal-hal tersebut. Namun, ketahuilah bahwa di balik itu semua hanya ada nilai nol, bahkan minus untuk keberanian dan kegagahan yang mereka tunjukkan.
Yang menjadi permasalahan adalah seringkali keberanian menggebu yang mereka (baca: mahasiswa) miliki tidak digunakan untuk membela kebenaran yang seharusnya dan selayaknya untuk ditegakkan. Apakah wajar bagi seorang mahasiswa melakukan tawuran antar fakultas hanya karena tidak mau dianggap remeh oleh fakultas lain? Yakinlah, bukan reputasi baik yang didapat, melainkan fakultas yang melakukan tawuran tersebut pastilah akan semakin dianggap remeh oleh fakultas lain.
Alangkah baiknya, jika memang bertujuan agar tidak mau dianggap remeh oleh fakultas lain, ada jalan lain yang lebih rasional misalnya dengan saling berlomba untuk menunjukkan prestasi di masing-masing fakultas, bukankah itu jauh lebih baik? Bahkan dengan mencetak prestasi, mahasiswa bisa menjalankan fungsinya sebagai agent of change alias agen perubahan di kampus. Dengan menjadi agen perubahan, mahasiswa dapat menebarkan semangat kepahlawan kepada mahasiswa dan masyarakat di sekitarnya. Misalnya, membuat gerakan ‘kampus asri’, ‘kampus bersih’, atau ‘kampus sehat’ dengan cara bahu-membahu membersihkan kampus. Gerakan-gerakan seperti ini dapat ditularkan ke masyarakat sehingga masyarakat pun menjadi sadar akan pentingnya hidup bersih dan sehat. Gerakan seperti ini jauh lebih terasa manfaatnya daripada gerakan-gerakan tawuran atau aksi anarkis. Ide-ide solutif inilah yang harusnya ada di setiap benak mahasiswa saat ini. Untuk itu, setiap mahasiswa harus meninggalkan kebiasaan lama mereka yang sibuk menyampaikan aspirasi, namun lupa untuk memberikan solusi.
Hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak aplikasi semangat kepahlawan yang bisa ditunjukkan oleh generasi saat ini. Menyebarkan semangat kepahlawanan bukanlah suatu hal yang rumit. Dalam hal kecil, sebagai mahasiswa, kita dapat memulainya dengan tidak melakukan TA alias ‘titip absen’ dengan teman, tidak mencontek atau berbuat curang dalam ujian, memakai pakaian yang pantas dan sopan ke kampus, tidak melakukan acara ‘kumpul-kumpul’ tanpa tujuan yang jelas dan bermanfaat, dan hal-hal kecil lainnya. Dalam masyarakat kampus, seringkali saat kita berada pada jalan yang benar, kita justru dianggap ‘cupu’ atau tidak setia kawan. Di sinilah letak tantangan dan pengorbanannya sebab inilah yang menjadi musuh kita saat ini, yakni diri kita sendiri. Dalam hal tersebut, kita diuji seberapa konsisten diri kita untuk tidak TA dan di-TA-kan atau tidak mencontek dan dicontek, dengan konsekuensi mungkin orang lain akan mengira bahwa pemikiran kita sudah tidak sejalur lagi dengan mahasiswa yang lain sehingga mahasiswa lain akan menghindar dari kita. Ini adalah contoh sederhana dalam membela kebenaran di kampus. Membela kebenaran itu dimulai dari sini, membela apa yang diyakini benar oleh diri sendiri. Setelah kita sanggup untuk memulainya dari hal yang kecil dan dari diri sendiri, barulah kita bisa dengan mudah menyebarkan semangat membela kebenaran yang lebih besar kepada orang lain yang ada di sekitar kita. Berawal dari mahasiswa, mari kita ciptakan Indonesia yang lebih baik. Selamat menyebarkan kebaikan.