Pahlawan : Jasadnya Mati, Jiwanya Abadi
Oleh : Syaiful Burhan
Berbicara mengenai pahlawan, biasanya saya selalu
membayangkan tentang masa lalu, bernostalgia dengan cerita-cerita sejarah,
berhubungan dengan foto-foto pahlawan yang ada didalam buku pelajaran sewaktu
SMA, tahun-tahun kejadian. Ya, perlu kita akui bersama bahwa sejarah yang dulu
kita pelajari bersama menuntut kita untuk bisa menghafal banyak hal. Baik itu
nama, gambar, tahun, sampai kronologis histori yang terkadang memusingkan
kepala saya sendiri.
Ada satu hal yang sampai saat ini sering membuat
penulis bertanya-tanya mengenai pahlawan, yaitu gambar pahlawan. Apa benar
gambar-gambar pahlawan yang selama ini kita lihat adalah gambar dari pahlawan
yang sesungguhnya? Terutama untuk periode dibawah tahun 1900. Seperti Cut Nyak
Dhien, Pangeran Diponegoro, R.A. Kartini, Kapitan Pattimura, dan lain-lain,
yang hidup pada era tahun 1700an – 1900an. Memangnya, teknologi foto atau
lukisan sudah ada di Indonesia waktu itu? Rasanya belum ada. Lalu dari mana gambar-gambar
pahlawan tersebut bisa ada dan melekat dalam pikiran kita? Gambar-gambar yang
kita rekam adalah karya ilustrasi dari seniman yang mencoba melukiskan
deskripsi dari pahlawan-pahlawan tersebut. Jadi, jika deskripsi dari pahlawan
dikatakan gagah, maka dibuatlah gambar orang gagah, lalu jika pahlawan tersebut
adalah seorang ahli agama islam, maka dibuatlah pahlawan yang sedang
menggunakan sorban, Pangeran Diponegoro misalnya. Apa benar beliau menggunakan
sorban? Ahli agama bukan berarti harus menggunakan sorban, coba lihat kondisi
budaya dimana tempat tinggalnya.
Pembodohan, selama ini yang kita lihat hanyalah
ilustrasi belaka. Tapi tak sepenuhnya bisa disalahkan juga, karena gambar
merupakan salah satu media pembelajaran yang bisa digunakan untuk mengingat.
Disini penulis hanya ingin meluruskan kembali, bahwa sebenarnya pahlawan
terdahulu yang kita lihat lewat gambar lukisan bukanlah refleksi dari mereka
sebenarnya. Selama ini kita terjerat oleh gambar-gambar pahlawan, ketika hari
Kartini banyak yang menampilkan lukisan gambar R.A. Kartini. Padahal sebenarnya
bukan gambar yang harus kita hayati, tapi semangat dan keberanian mereka dalam
berjuang.
Lalu coba kita maju hingga masuk pada era
pahlawan-pahlawan kemerdekaan. Pada tanggal 10 November kita seluruh rakyat
Indonesia memperingati Hari Pahlawan. 67 Tahun yang lalu terjadi pertempuran
berdarah dan dahsyat antara arek-arek
Suroboyo dengan kolonial Inggris. Dengan Bung Tomo sebagai pembakar
semangat rakyat pada saat itu dengan semboyan “Merdeka atau Mati”.
Lalu yang selalu kita sebut sebagai pahlawan adalah
Bung Tomo hanya karena Pidatonya yang mewakili suara dari rakyat saat itu.
Padahal seharusnya yang disebut sebagai pahlawan adalah mereka yang berperang
untuk kemerdekaan, termasuk rakyat-rakyat kecil yang bersenjatakan bambu
runcing. Mereka adalah pahlawan yang sesungguhnya.
Lalu, kenapa seseorang bisa disebut pahlawan? Apa
mereka harus tentara yang memimpin pasukan? Lalu bagaimana dengan pemimpin
pasukan yang berasal dari rakyat jelata yang tidak kita ketahui? Jumlah mereka
jauh lebih banyak dari pahlawan-pahlawan yang kita ketahui selama ini.
Seseorang bisa disebut pahlawan ketika ada momentum dan momentum itu dimanfaatkan
dengan baik oleh orang tersebut. Seperti Bung Tomo, ia memanfaatkan momentum
ketika inggris akan menyerang. Beliau memanfaatkan momentum dengan baik melalui
pidato yang membakar semangat rakyat, menyatukan hati pejuang lewat
kata-katanya yang membara. Momentum sudah ia dapatkan, maka ia berhak
menyandang gelar pahlawan.
Momentum hadir kembali ketika era Reformasi, yaitu
ketika penurunan paksa pimpinan Orde Baru yang saat itu dikuasai oleh Presiden
Soeharto. Pada momentum ini, yang mengambil alih adalah kalangan intelektual
yaitu Mahasiswa dari seluruh Indonesia. Karena Mahasiswalah yang memaksa
penurunan tampuk kekuasaan yang saat itu dianggap sebagai pemimpin yang
diktator. Momentum diambil oleh mahasiswa, maka mulai saat itulah mahasiswa
disebut sebagai Pahlawan Reformasi.
Saat ini, apakah kita sebagai mahasiswa masih
dianggap sebagai Pahlawan Reformasi? Pahlawan Reformasi adalah gelar yang
sangat berbeda dari pahlawan-pahlawan lainnya selain Pahlwan Proklamator.
Pahlawan Reformasi adalah gelar yang harus dipertahankan sampai detik ini,
Reformasi masih harus terus diperjuangkan. Jika Reformasi runtuh ditengah
jalan, maka Mahasiswa saat ini tak berhak menyandang gelar tersebut.
Refleksi kepahlawanan bukan hanya pada nama gelar
yang diperoleh. Seharusnya proses yang dilakukan hingga mencapai gelar tersebut
yang perlu ditanamkan kebenak kita masing-masing. Jiwa pahlawan sesungguhnya
harus terus menyala pada hati pemuda-pemuda intelektual saat ini.
Indonesia tidak memerlukan otot untuk mempertahankan
kemerdekaan. Penjajahan bukan lagi berasal dari kekuatan militer, tapi antek-antek pemikir yang berasal dari
luar yang bertujuan untuk melemahkan generasi penerus. Bahkan serangan
penjajahan pikiran bukan hanya berasal dari luar Indonesia saja, tapi beberapa
berasal dari kalangan kita sendiri. Sebagai contoh sederhana, pemuda-pemuda
yang beraksi Vandalisme merusak
fasilitas rakyat, demo-demo yang tidak tertib mengganggu kenyamanan warga. Tak
perlu malu untuk menyebutkan bahwa beberapa dari mereka berstatus mahasiswa.
Seperti itukah gelar Pahlawan Reformasi tertanam? Pahlawan dengan mencari muka
untuk menjadi pusat perhatian itu beda tipis, sama-sama mendapat perhatian.
Kita salah memaknai arti pahlawan. Kita semua yang
saat ini berjuang untuk mencapai kebaikan dan cita-cita agung bisa disebut
pahlawan, orang tua kita adalah pahlawan bagi kita sendiri dan keluarga,
pemikir negara juga bisa disebut sebagai pahlawan, pejabat hingga pemulung
sampah pun bisa kita sebut sebagai pahlawan, Pahlawan kebersihan misalnya.
Kita semua yang saat ini masih hidup adalah
pahlawan. Hanya saja untuk menjadi pahlawan yang sesungguhnya, pahlawan yang
pantas untuk dikenang semua rakyat Indonesia, perlu ada momentum. Saat momentum
itu ada, mengambil atau membiarkan momentum itu adalah keputusan kita.
Untuk mencari momentum, yang diperlukan adalah
kejelian. Jeli dalam melihat keadaan dan situasi, bahkan keadaan yang kecil
bisa menjadi momentum yang besar. Tergantung bagaimana kita memanfaatkan
momentum yang ada. Seperti apa sih momentum itu? Paling sederhana adalah event. Jika ada acara, perlombaan, karya
tulis, kreativitas, dan banyak hal lainnya, itu semua adalah momentum. Jika
kita bisa berprestasi disalah satu saja, kita bisa menjadi pahlawan bagi
universitas karena kitalah yang mewakili dan mengharumkan nama baik. Dari yang
sebelumnya berstatus sebagai pahlawan bagi diri sendiri, meningkat menjadi
pahlawan bagi institusi pendidikan kita. Ada peningkatan.
Kita tidak bisa mengharapkan momentum seperti Kemerdekaan
dan Reformasi, karena keadaan saat ini sudahlah sangat berbeda dari keadaan
dulu. Berprestasi adalah momentum yang harus bisa kita manfaatkan secara
maksimal. Menjadi pahlawan bukanlah hal yang instan, proses yang perlu ditempuh
untuk menjadi pahlawan yang sesungguhnya sangatlah panjang. Apa yang bisa kita
berikan sehingga kita pantas disebut sebagai pahlawan? Sungguh naif jika kita
bangga dengan titel “Mahasiswa Adalah
Pahlawan Reformasi” namun kontribusi yang diberikan tidak ada. Itu bukan
pahlawan, tapi pembual.
Apa yang bisa kita tiru dari pahlawan-pahlawan
terdahulu adalah semangat dan keberanian tanpa batas. Mereka berani maju ke
medan perang tanpa takut memikirkan mati, seharusnya kita bisa seperti itu.
Bukan berkorban nyawa tentunya, berkorban waktu, tenaga, dan pikiran.
Para pahlawan mengorbankan nyawa demi kita dimasa
kini dan masa depan. Generasi yang tak perlu turun ke medan pertempuran untuk
mati dan merebut kemerdekaan. Kita telah diwariskan masa tanpa peperangan
fisik, masa yang penuh kedamaian. Kita hanya perlu berpikir untuk kemajuan
Indonesia, bertindak untuk kesejahteraan rakyat, berpeluh waktu demi
pembangunan negeri.
Kita telah diwariskan momentum untuk bisa banyak
berprestasi. Jangan disia-siakan pengorbanan orang-orang terdahulu dengan
berleha-leha. Saat ini mungkin kita belum menjadi pahlawan yang bisa dicontoh,
tapi saat ini kita harus mempersiapkan diri untuk bisa memberi contoh kepada
generasi setelah kita.
Pahlawan..
Mereka
tidak mati..
Mereka
tidak juga sembunyi,
Mereka
menjelma menjadi jiwa yang abadi
Mewariskan
semangat kepada setiap generasi
Pahlawan..,
Jasadnya mati, namun jiwanya tetap Abadi..